Monday, 17 February 2025

Ajarkan Anak Mengontrol Emosi: Review Buku Flooded yang Wajib Dibaca Para Ibu

Buku Flooded karya Allison Edwards


Pernahkah Ibu merasa kewalahan menghadapi anak yang tantrum? Tiba-tiba mereka menangis, berteriak, atau bahkan marah-marah tanpa alasan yang jelas. Kadang, ada juga anak yang justru diam dan menarik diri saat emosinya meluap. Sebagai orang tua, kita sering kali bingung bagaimana cara terbaik untuk menenangkan mereka tanpa ikut terbawa emosi.

Nah, buku Flooded karya Allison Edwards hadir sebagai solusi untuk membantu anak-anak mengelola emosinya dengan lebih baik. Buku ini menggunakan pendekatan berbasis ilmu saraf yang mudah dipahami dan diterapkan di kehidupan sehari-hari. Yuk, kita bahas lebih dalam!


Kenapa Anak Sering Tantrum? Kenali ‘Flooded Mode’ dalam Otak Mereka

Amigdala bagian otak yang berperan dalam respon waspada. Sumber: google.com

Ibu pernah dengar istilah flooded? Dalam buku ini, Edwards menjelaskan bahwa flooded adalah kondisi saat emosi anak meluap hingga mereka kehilangan kemampuan berpikir jernih. Saat anak merasa cemas, takut, atau marah, otaknya bereaksi secara otomatis tanpa bisa mengontrol diri. Inilah alasan mengapa anak bisa tantrum tiba-tiba.

Salah satu bagian otak yang berperan besar dalam hal ini adalah amigdala, si kecil berbentuk kacang almond yang bertanggung jawab atas respons ‘waspada’, ‘lawan atau lari’ (fight or flight). Saat anak menghadapi situasi yang membuatnya stres, amigdala langsung aktif, membuat mereka sulit berpikir logis. Akibatnya, mereka bereaksi secara impulsif—menangis, marah, atau bahkan menghindar.

Tapi, jangan khawatir! Kita bisa membantu anak belajar mengelola emosinya, sehingga mereka lebih tenang dan bisa berpikir sebelum bertindak.


Strategi Jitu Mengajarkan Anak Mengontrol Emosi

Berdasarkan penelitian dan pengalamannya sebagai konselor profesional, Edwards menawarkan berbagai strategi yang bisa Ibu terapkan di rumah. Berikut beberapa teknik yang bisa dicoba:

  1. Mengenali dan Memahami Emosi

Ajarkan anak untuk mengenali emosinya dengan cara sederhana, misalnya menggunakan skala perasaan dari 1 sampai 10. Bantu mereka memahami apa yang membuat mereka marah, sedih, atau takut. Dengan begitu, anak belajar bahwa emosi itu normal dan bisa dikendalikan.

  1. Teknik Pernapasan dan Relaksasi 

Saat anak mulai emosional, ajak mereka melakukan teknik pernapasan dalam-dalam. Ibu bisa mengenalkan ‘napas balon’—minta anak membayangkan sedang meniup balon besar, tarik napas dalam, lalu hembuskan perlahan. Teknik ini membantu menenangkan sistem saraf mereka. Atau bisa dengan teknik ‘5 detik remas, 5 detik lepas’. Minta anak untuk membuka telapak tangannya dan menyimpan perasaan yang sedang dirasakan dalam kepalan tangan. Remas selama 5 detik, lalu lepaskan perasaan itu ke udara. Mintalah anak melakukan itu beberapa kali hingga ia merasa rileks. 

  1. Komunikasi yang Empatik

Alih-alih langsung menegur atau melarang anak menangis, cobalah mendengarkan mereka dengan penuh perhatian. Sejajarkan posisi tubuh dengan anak, tatap matanya, dan tanyakan dengan lembut, “Kamu lagi sedih ya? Mau cerita sama Mama?” Ini membuat anak merasa didengar dan lebih mudah mengungkapkan perasaannya.

  1. Ciptakan Lingkungan yang Aman 

Pastikan rumah menjadi tempat yang nyaman bagi anak untuk mengekspresikan emosinya. Jangan buru-buru menyuruh anak ‘jangan nangis’ atau ‘jangan marah’. Beri mereka ruang untuk merasakan dan belajar mengatasi emosinya sendiri dengan bimbingan Ibu.


Kesimpulan: Wajib Dibaca untuk Orang Tua yang Ingin Anak Lebih Tenang

Buku Flooded merupakan bacaan yang sangat bermanfaat bagi para ibu yang ingin memahami cara kerja otak anak dalam mengelola emosi. Dengan bahasa yang ringan dan strategi yang aplikatif, buku ini cocok untuk dipraktikkan sehari-hari. Meskipun ada bagian yang mungkin bisa lebih dikembangkan, seperti contoh kasus nyata dan pendekatan berdasarkan usia anak, secara keseluruhan buku ini sangat membantu.

Rekomendasi banget buat Ibu yang ingin membantu anak tumbuh dengan kecerdasan emosional yang lebih baik. Yuk, mulai ajarkan anak mengontrol emosinya dari sekarang! 💖

Sunday, 2 February 2025

Perempuan: Antara Dilema dan Stigma

Ilustrasi perempuan (Sumber: www.pexels.com, gambar dari Chu Chup Hinh)

Menjadi perempuan itu unik. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, tapi di saat yang sama juga harus menghadapi berbagai stigma yang seakan-akan sudah diwariskan turun-temurun. Kadang kita ingin bebas menentukan jalan sendiri, tapi ada suara-suara di sekitar yang seolah mengingatkan, "Harusnya begini, harusnya begitu."

Perempuan seakan terkurung dan terkungkung. Belum lagi budaya patriarki yang rasanya masih ada hingga sekarang, membuat perempuan sulit untuk maju dan bebas berekspresi. Meskipun sekarang keterlibatan perempuan di berbagai sektor mulai kelihatan, tapi bukan berarti tantangan itu hilang begitu saja. Isu kesetaraan gender, kekerasan, konflik, inklusivitas dalam berbagai faktor masih menjadi tantangan yang harus dihadapi perempuan saat ini.  

Dilema yang Tak Berujung

Pernah nggak, kamu merasa serba salah dalam mengambil keputusan? Misalnya, ketika memilih untuk bekerja setelah menikah, ada yang bilang, “Kok tega ninggalin anak di rumah?” Tapi kalau memutuskan jadi ibu rumah tangga, tiba-tiba ada suara lain yang nyeletuk, “Sayang banget, padahal lulusan tinggi.”

Ini baru satu contoh. Di luar sana, masih banyak dilema lain yang dihadapi perempuan, mulai dari cara berpakaian, pilihan karier, peran dalam keluarga, gaya parenting, hingga bagaimana kita mengekspresikan diri. Seolah-olah selalu ada standar yang harus kita penuhi, meskipun standar itu berubah-ubah tergantung dari siapa yang menilai.

Stigma yang Melekat Kuat

Selain dilema, ada juga stigma yang sering kali membayangi langkah perempuan. Beberapa di antaranya mungkin terdengar familiar:

  • Perempuan harus menikah sebelum usia tertentu. Kalau lewat, pasti ditanya terus, “Kapan nikah?” Padahal, menikah itu keputusan besar yang nggak bisa dipaksakan hanya karena umur.

  • Ibu bekerja dianggap kurang peduli keluarga. Padahal, banyak ibu bekerja yang justru berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, baik dari segi finansial maupun kasih sayang.

  • Perempuan yang vokal dianggap galak. Kalau laki-laki yang tegas disebut pemimpin, tapi kalau perempuan yang bicara lantang, bisa-bisa dibilang terlalu dominan atau nggak tahu diri.

  • Perempuan harus selalu tampil sempurna. Harus cantik, harus langsing, harus ini, harus itu. Kalau memilih tampil apa adanya, malah dikomentari, “Kok nggak merawat diri?”

Jadi, Harus Bagaimana?

Di tengah semua dilema dan stigma ini, rasanya penting bagi kita sebagai perempuan untuk kembali ke diri sendiri. Apa yang benar-benar kita inginkan? Apa yang membuat kita bahagia dan merasa berarti?

Memang tidak mudah, karena suara-suara dari luar sering kali lebih nyaring daripada suara hati kita sendiri. Tapi kita bisa mulai dengan beberapa hal:

  • Belajar mengenal diri sendiri lebih dalam. Apa yang membuat kita nyaman dan bahagia? Apa yang sebenarnya kita butuhkan?

  • Berani berkata tidak. Kita nggak harus selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Jika sesuatu nggak sesuai dengan nilai dan kebahagiaan kita, nggak apa-apa untuk menolaknya.

  • Mendukung sesama perempuan. Kita sudah cukup sering mendapat tekanan dari luar, jadi alangkah baiknya jika sesama perempuan bisa saling mendukung daripada saling menghakimi. 

  • Menerima bahwa kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Pada akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana kita merasa nyaman dengan diri kita sendiri, bukan bagaimana orang lain menilai kita.

Menjadi perempuan memang harus siap menghadapi dilema dan stigma. Tapi kita punya kekuatan untuk menentukan jalan sendiri, selama kita percaya pada diri sendiri dan terus mendukung satu sama lain. Karena pada akhirnya, kita bukan hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, tapi untuk menjalani hidup yang benar-benar kita inginkan.

Semangat untuk semua perempuan dan ibu di luar sana yang sedang berjuang dengan apapun perannya. Jadilah diri sendiri dan percaya pada kekuatan diri, maka kamu akan bersinar di manapun kamu berada! 😊