Sunday, 2 February 2025

Perempuan: Antara Dilema dan Stigma

Ilustrasi perempuan (Sumber: www.pexels.com, gambar dari Chu Chup Hinh)

Menjadi perempuan itu unik. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, tapi di saat yang sama juga harus menghadapi berbagai stigma yang seakan-akan sudah diwariskan turun-temurun. Kadang kita ingin bebas menentukan jalan sendiri, tapi ada suara-suara di sekitar yang seolah mengingatkan, "Harusnya begini, harusnya begitu."

Perempuan seakan terkurung dan terkungkung. Belum lagi budaya patriarki yang rasanya masih ada hingga sekarang, membuat perempuan sulit untuk maju dan bebas berekspresi. Meskipun sekarang keterlibatan perempuan di berbagai sektor mulai kelihatan, tapi bukan berarti tantangan itu hilang begitu saja. Isu kesetaraan gender, kekerasan, konflik, inklusivitas dalam berbagai faktor masih menjadi tantangan yang harus dihadapi perempuan saat ini.  

Dilema yang Tak Berujung

Pernah nggak, kamu merasa serba salah dalam mengambil keputusan? Misalnya, ketika memilih untuk bekerja setelah menikah, ada yang bilang, “Kok tega ninggalin anak di rumah?” Tapi kalau memutuskan jadi ibu rumah tangga, tiba-tiba ada suara lain yang nyeletuk, “Sayang banget, padahal lulusan tinggi.”

Ini baru satu contoh. Di luar sana, masih banyak dilema lain yang dihadapi perempuan, mulai dari cara berpakaian, pilihan karier, peran dalam keluarga, gaya parenting, hingga bagaimana kita mengekspresikan diri. Seolah-olah selalu ada standar yang harus kita penuhi, meskipun standar itu berubah-ubah tergantung dari siapa yang menilai.

Stigma yang Melekat Kuat

Selain dilema, ada juga stigma yang sering kali membayangi langkah perempuan. Beberapa di antaranya mungkin terdengar familiar:

  • Perempuan harus menikah sebelum usia tertentu. Kalau lewat, pasti ditanya terus, “Kapan nikah?” Padahal, menikah itu keputusan besar yang nggak bisa dipaksakan hanya karena umur.

  • Ibu bekerja dianggap kurang peduli keluarga. Padahal, banyak ibu bekerja yang justru berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, baik dari segi finansial maupun kasih sayang.

  • Perempuan yang vokal dianggap galak. Kalau laki-laki yang tegas disebut pemimpin, tapi kalau perempuan yang bicara lantang, bisa-bisa dibilang terlalu dominan atau nggak tahu diri.

  • Perempuan harus selalu tampil sempurna. Harus cantik, harus langsing, harus ini, harus itu. Kalau memilih tampil apa adanya, malah dikomentari, “Kok nggak merawat diri?”

Jadi, Harus Bagaimana?

Di tengah semua dilema dan stigma ini, rasanya penting bagi kita sebagai perempuan untuk kembali ke diri sendiri. Apa yang benar-benar kita inginkan? Apa yang membuat kita bahagia dan merasa berarti?

Memang tidak mudah, karena suara-suara dari luar sering kali lebih nyaring daripada suara hati kita sendiri. Tapi kita bisa mulai dengan beberapa hal:

  • Belajar mengenal diri sendiri lebih dalam. Apa yang membuat kita nyaman dan bahagia? Apa yang sebenarnya kita butuhkan?

  • Berani berkata tidak. Kita nggak harus selalu memenuhi ekspektasi orang lain. Jika sesuatu nggak sesuai dengan nilai dan kebahagiaan kita, nggak apa-apa untuk menolaknya.

  • Mendukung sesama perempuan. Kita sudah cukup sering mendapat tekanan dari luar, jadi alangkah baiknya jika sesama perempuan bisa saling mendukung daripada saling menghakimi. 

  • Menerima bahwa kita nggak bisa menyenangkan semua orang. Pada akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana kita merasa nyaman dengan diri kita sendiri, bukan bagaimana orang lain menilai kita.

Menjadi perempuan memang harus siap menghadapi dilema dan stigma. Tapi kita punya kekuatan untuk menentukan jalan sendiri, selama kita percaya pada diri sendiri dan terus mendukung satu sama lain. Karena pada akhirnya, kita bukan hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, tapi untuk menjalani hidup yang benar-benar kita inginkan.

Semangat untuk semua perempuan dan ibu di luar sana yang sedang berjuang dengan apapun perannya. Jadilah diri sendiri dan percaya pada kekuatan diri, maka kamu akan bersinar di manapun kamu berada! 😊


No comments:

Post a Comment