Tuesday, 8 April 2025

Lebaran Tanpa Mudik: Cerita yang Tetap Penuh Makna

Hai, teman-teman! Mohon maaf lahir dan batin ya…

Semoga Ramadan kali ini benar-benar menjadi momen yang mampu menempa kita jadi pribadi yang lebih baik lagi. Semoga segala amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT, dan semoga kita semua diberi umur panjang untuk bertemu lagi dengan Ramadan tahun depan, aamiin… 🌙

Gimana suasana Lebaran kemarin? Tim mudik atau tim nggak mudik tahun ini? Dan... sudah siap-siap balik ke rutinitas harian setelah liburan dan ketupat-an?

Alhamdulillah, aku sudah kembali ke Surabaya dan mulai bersiap menyambut hari-hari seperti biasa—apalagi anak-anak juga sudah mau masuk sekolah lagi. Meski sempat mellow karena harus kembali menjalani LDM sama suami, tapi aku bersyukur sempat menghabiskan dua minggu terakhir bareng keluarga kecil kami. Waktu yang mungkin singkat, tapi cukup untuk mengisi ulang energi dan hati. 💛

Cerita Tak Pernah Mudik

Sejak kecil, aku nggak pernah merasakan momen mudik seperti yang biasa dialami banyak orang. Aku lahir dan besar di Bandung, jadi ya... nggak pernah merasa benar-benar jadi perantau. Semuanya dekat dan familiar. Mama asli Bandung, dan Bapak pun sejak kecil sudah menetap di Bandung.

Padahal sebenarnya Bapak berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Tapi karena sebagian besar keluarga besarnya sudah lama menetap di Bandung, kami pun nggak pernah mengalami yang namanya mudik ke Jawa. Sepupu-sepupu yang masih tinggal di Jawa pun rasanya jauh banget. Nggak pernah ada drama rebutan tiket atau terjebak macet saat musim mudik tiba. Bisa dibilang, masa kecilku aman tenteram dari ritual mudik.

Punya Kampung Halaman Baru

Lebaran pertama bareng suami tahun 2017 di Banjarmasin 

Segalanya mulai berubah setelah aku menikah. Suamiku berasal dari Banjarmasin—dan di situlah aku merasa seperti mendapatkan kampung halaman baru. Di awal pernikahan, tepatnya tahun 2017, kami sempat merayakan Idul Fitri di sana. Rasanya seru sekali!

Meski memorinya sudah mulai samar, tapi yang aku ingat: aku sangat senang bisa merasakan nuansa Lebaran yang benar-benar baru. Mulai dari budaya, makanan khas, hingga kehangatan keluarga besar yang sebelumnya hanya bisa aku bayangkan.

Lebaran di Negeri Orang

Namun, jalan hidup kami membawa cerita yang cukup unik. Tak lama setelah menikah, aku ikut mendampingi suami studi lanjut di Groningen, Belanda. Kami pun harus melewati empat kali Lebaran di tanah rantau. Jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman, dan jauh dari suasana Lebaran yang biasa kami nikmati.

Awalnya terasa sepi dan asing. Tapi, siapa sangka, justru di sanalah kami belajar menemukan makna Lebaran yang baru. Bersama komunitas pelajar Indonesia dan diaspora, kami saling menguatkan. Masak bareng, salat Ied bareng, bahkan video call-an massal dengan keluarga di Indonesia jadi momen yang tak tergantikan. Meski tak biasa, tapi sangat bermakna. 

Lebaran terakhir di Groningen, Belanda

Pulang ke Tanah Air, Tapi Belum Juga Mudik

Tahun 2022 akhirnya kami kembali ke Indonesia. Saat itu aku baru melahirkan anak kedua, jadi Lebaran kami habiskan di Bandung. Rasanya seperti melepas rindu yang tertunda—berkumpul lagi dengan keluarga besar setelah sekian lama merantau.

Tapi ya begitulah hidup, selalu ada babak baru. Di pertengahan 2023, kami pindah ke Surabaya. Dan meski sekarang lebih dekat ke banyak kota, ternyata kami malah belum juga bisa merasakan mudik ke Banjarmasin ataupun Bandung.

Saat ini, aku dan anak-anak tinggal di Surabaya, sementara suami harus dinas di Banyuwangi. Jadi kami LDM lagi deh. Tapi alhamdulillah, tahun ini bisa Lebaran bareng, meski hanya sebentar. Waktunya kami memanfaatkan sebaik mungkin quality time bersama keluarga kecil.

Lebaran tahun kemarin di Genteng, Banyuwangi
 

Kalau Nggak Bisa Mudik, Bisa Ngapain?

Nggak semua orang bisa mudik. Tapi bukan berarti Lebaran jadi sepi dan hampa. Ada banyak cara untuk tetap merayakan dengan penuh makna:

1. Eksplor Tempat Baru
Lebaran kali ini, kami menyempatkan diri jalan-jalan ke Paltuding Ijen. Bukan buat mendaki, tapi sekadar menikmati udara segar dan pemandangan. Nggak ramai, dan itu justru jadi healing yang pas banget untuk kami.

Idul Fitri 1446 H/2025 M berfoto di Paltuding Ijen

2. Berkunjung ke Rumah Teman
Hari kedua, kami silaturahmi ke rumah teman-teman suami. Selain ngobrol dan menikmati makanan khas Banyuwangi, kami sering dapat “buah tangan” hasil panen mereka. Tahun lalu bawa pulang dukuh, tahun ini kelapa muda. Bahagia itu sederhana. 

3. Kulineran Lokal
Namanya juga di Banyuwangi, ya sekalian wisata kuliner dong. Dari rujak soto, rujak bakso, sampai makanan khas yang lagi viral. Menikmati hal baru di tempat yang baru, itu juga bentuk syukur.

4. Silaturahmi Virtual
Teknologi benar-benar jadi penyambung hati. Video call bareng keluarga besar tetap jadi agenda wajib. Saling maaf-maafan, saling cerita, bahkan saling pamer baju Lebaran (nggak boleh ketinggalan!).

Lebaran buatku bukan soal lokasi, tapi soal koneksi. Nggak harus ramai, nggak harus mudik, yang penting tetap bisa saling memaafkan, saling menyayangi, dan saling hadir—walau kadang lewat layar. 

Karena mau mudik atau nggak, yang penting hatinya tetap pulang.
Selamat Idul Fitri, teman-teman.