Sumber: www.wikipedia.com
Groningen adalah kota pelajar
yang terletak di ujung utara Belanda dengan populasi sekitar 231.299 jiwa (https://id.wikipedia.org/wiki/Groningen_(Groningen)). Kota ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil untuk
dikelilingi dan memiliki lingkungan yang sangat nyaman untuk belajar karena
memang dikenal sebagai kota pelajar. Groningen ini memiliki international student yang cukup banyak,
salah satunya dari Indonesia. Banyak sekali warga Indonesia yang menimba ilmu
disini. Kali ini ternyata aku berkesempatan untuk melakukan research study di Groningen. Program ini
merupakan kerjasama antara ITB dan University of Groningen (RUG), dimana
mahasiswa-mahasiswa terpilih dari ITB yang lolos seleksi yang dilakukan oleh
RUG akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian di kampus mereka
secara gratis. Aku bersama tiga teman lainnya yang lolos seleksi berangkat ke
Groningen sekitar akhir tahun 2014 dan akan tinggal di Groningen selama kurang
lebih enam bulan.
Ini adalah pertama kalinya bagiku
untuk tinggal jauh dari orang tua, jadi bener-bener sebagai latihan kemandirian
dan latihan menjadi seorang istri (karena harus mulai masak sendiri, maklum ga
pernah masak di rumah hehe). Pada saat berangkat tidak pernah menyangka akan bertemu
jodoh di kota Groningen ini, tapi memang sempat terbersit untuk mencari jodoh
disana. Akan tetapi, karena kesibukan dan lain hal jadi keinginan untuk mencari
jodoh pun di nomor terakhirkan. Sampai suatu ketika, sekitar bulan Januari
akhir aku tanpa sengaja bertemu dengan seseorang lelaki dalam perjalanan menuju
acara pengajian di salah satu rumah pelajar dari Indonesia juga.
Lelaki ini adalah pelajar asal
UNAIR yang sedang menempuh pendidikan master di UMCG dan sudah tersebar
gosipnya bahwa lelaki ini memang sedang mencari jodoh. Pada saat pertama
bertemu di dalam lift saat menuju tempat pengajian itu, impresi pertama yang
muncul “hmm lumayan juga kalo dari
penampilannya hehe” tapi dalam hati terpikir sepertinya dia ga mungkin jadi
jodohku, jadi kuhiraukan saja gosip tentangnya yang sedang mencari jodoh.
Setelah pertemuan itu semuanya kembali biasa-biasa saja, selama aku tinggal di
Groningen jarang sekali pertemuan dan obrolan terjadi di antara kami berdua.
Aku tidak tau dia seperti apa orangnya dan tidak ada niatan untuk mencoba
mendekati lelaki itu. Bahkan ada beberapa sikap dan perilakunya yang aku dengar
dari orang-orang sangat tidak cocok denganku, sampai-sampai aku agak ilfeel
sama orang satu ini. Seringkali teman-temanku menjodoh-jodohkan aku dengannya
dan langsung saja aku jawab “ga usah ya, makasih.”
Tidak banyak interaksi yang
terjadi antara kami berdua selama di Groningen, sampai suatu ketika aku pun
sudah berada di penghujung keberadaanku di Groningen. Aku bersama teman-teman
yang lain mengadakan farewell party
sebagai bentuk terima kasih kepada warga-warga Indonesia yang ada di Groningen
karena kami telah menyelesaikan penelitian kami dan akan segera pulang
Indonesia. Kebetulan dia datang juga ke acara tersebut dan terjadilah ajang
menjodoh-jodohkan aku dengan dia oleh teman-teman lainnya. Aku pun tidak
terlalu menanggapi hal tersebut, karena memang tidak ada obrolan langsung dari
‘dianya’ dan kupikir ini hanya bercandaan semata. Sampai hari H aku pulang pun
tidak ada sama sekali kata terucap darinya, jadi benar-benar aku anggap hanya angin
lalu pertemuanku dengannya.
Sesampainya di Indonesia pun aku
menjalani hari-hariku seperti biasa dan tidak pernah terpikirkan dia sama
sekali. Suatu hari akhirnya dia menghubungiku lewat facebook messenger dalam
rangka mengucapkan idul fitri dan aku pun membalas sewajarnya. Dari saat itu
diapun lebih rajin untuk mengchat dan lebih banyak obrolan mengalir. Setelah
beberapa kali chat geje ala ABG, akhirnya dia pun menyatakan perasaannya yang
sesungguhnya padaku. Tapi yang anehnya adalah dia tidak meminta jawaban
langsung, jadi kan curiga ini orang beneran niat apa ga hehe. Aku pun masih
tidak menghiraukan pernyataannya padaku, dan biasa saja menanggapi whatsapp nya
seperti layaknya pada seorang teman biasa.
Dia pun sering memberikan
semangat saat aku mulai memasuki masa-masa sibuk tesis dan sidang. Dan
terjadilah suatu kejadian yang konyol saat aku baru selesai sidang, dimana dia
tiba-tiba bertanya padaku apakah aku menerima sebuah paket. Usut punya usut
ternyata dia mengirimkan kiriman bunga ke alamat rumahku, tapi karena di
komplek tempat tinggalku ada dua rumah yang memiliki no rumah yang sama, jadi
si kiriman bunga tersebut nyasar ke rumah satunya dan baru berhasil sampai ke
rumahku keesokan harinya. Disitu pun aku mulai merasakan bahwa orang ini
mungkin memang serius, tapi tetap saja aku hiraukan dia dan aku balas whatsapp
nya biasa saja.
Selepas aku wisuda, aku pun jatuh
sakit yang cukup parah, aku terkena TB usus. Ya, bakteri tuberculosis yang
menyerang padaku berkoloninya di dalam usus besarku. Alhasil aku harus
melakukan pengobatan rawat jalan secara intensif. Tiga kali bulak balik di
rawat di rumah sakit, sampai akhirnya akhir tahun 2015 aku dioperasi laparotomy untuk pemotongan usus besar
yang terinfeksi oleh bakteri TB. Saat aku mengalami masa-masa sulit tersebut,
aku sengaja tidak membalas semua chat nya dan tidak mengabari bahwa aku sakit.
Sampai akhirnya dia mengirimkan sebuah surat ke email ku sekitar akhir desember
juga untuk mempertanyakan dan memberikan hipotesis kenapa aku tidak membalas
chat nya, yang intinya sebenarnya dia menyatakan kembali perasaannya padaku.
Selama proses penyembuhan pun aku
jadi berpikir kenapa aku harus menghindarinya, kan cuma teman biasa saja, apa
salahnya bercerita. Akhirnya sekitar bulan Januari atau Februari 2016 aku pun
menghubunginya hanya untuk memberitahukan kemana diriku selama ini. Tidak ada
pikiran sama sekali untuk menikah dalam waktu dekat. Kami pun mulai untuk
saling mengchat satu sama lain seperti teman biasa. Namun sekitar bulan April
dia pun menyatakan kembali perasaannya dan rencana hidupnya dalam sebuah video
yang dia kirimkan ke emailku. Setelah melihat video tersebut, entah harus
menjawab apa, hanya yang aku rasakan saat itu adalah merasa ‘spesial’. Dia pun
bilang bahwa video ini sama sekali tidak memaksa diriku untuk menjawab
secepatnya, dia hanya ingin aku tahu apa rencana hidupnya selama beberapa tahun
ke depan, apa visi hidupnya, berasal dari keluarga seperti apa dia. Mungkin hal
ini yang akan jadi panduan dia dalam proses penjajakan denganku (ta’aruf).
Aku pun mulai merasa galau saat
itu (ciyee galau…), akhirnya aku pun memperlihatkan video ini ke seluruh
keluargaku. Mereka semua menyambut positif video tersebut dan mengembalikan
semua keputusannya kepadaku. Karena merasa ini adalah sebuah keputusan yang
berat untuk diputuskan, akhirnya aku beristikharah sama Allah untuk meminta
petunjuk atas keputusan yang harus diambil. Cukup lama juga untuk meyakinkan
diri ini karena masih banyak kekhawatiran ke depannya akan sepeti apa. Btw,
sebenernya yang mengajukan untuk mengajak menikah bukan cuma dia loh, masih ada
yang lain tapi ya memang bukan jodohnya sehingga hati ini tidak digerakkan
untuk yakin pada orang-orang tersebut. Masih sambil terus berdoa meminta
petunjuk, aku pun mulai mencoba untuk mencari tahu tentang dirinya seperti apa
ke orang-orang yang sudah mengenal dia cukup lama, tentang agamanya,
sifat-sifatnya, sikapnya kepada orang yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda. Beberapa
pertanyaan juga aku langsung ajukan ke dia terkait visi misi kehidupannya dalam
membangun sebuah keluarga.
Setelah mengumpulkan hasil kepo
ke orang-orang, dan jawaban-jawaban yang diberikan orangnya langsung, serta
petunjuk dari Allah, lama-kelamaan hati ini tergerak untuk menuju yakin, memang
tidak yakin sampai 100%, tapi yang aku yakini adalah insyaAllah lelaki ini yang
akan membimbing aku dalam membangun sebuah keluarga untuk terus mendapatkan
berkah di dunia dan akhirat, aaamiiin… Kami pun mulai merencanakan acara
lamaran yang kemungkinan akan dilaksanakan pada saat dia sudah lulus masternya,
sekitar bulan September. Studi masternya selesai sekitar awal Agustus, dan dia
akan pulang pada akhir bulan Agustus. Semua persiapan acara lamaran kami
bicarakan lewat chat di whatsapp dan sesekali telpon via Line. Alhamdulillah
semuanya berjalan lancar, dan untuk pertama kalinya aku bertemu dia lagi
setelah sekitar 1 tahun hanya berkomunikasi lewat aplikasi chatting di HP. Dari
penampilannya memang sedikit berbeda dari terakhir kuingat satu tahun lalu,
lebih rapi. Tapi tidak pernah terbayangkan bahwa dia nantinya akan jadi
pendamping hidup seterusnya. Dia datang ke rumah bersama kedua orangtuanya pada
tanggal 4 September 2016 untuk melamar diriku. Hari itu hatiku bener-bener
deg-degan karena secara tidak langsung khitbah tersebut menunjukkan bahwa ada
seseorang yang dengan tulus meminta diriku kepada orangtuaku untuk
diperistrinya. Lagi-lagi disini aku merasa begitu ‘spesial’.
Pada saat lamaran belum ada
tanggal pasti kapan kami menikah, dia hanya mengajukan dua waktu antara akhir
Desember tahun 2016 atau pertengahan Agustus 2017. Selepas lamaran pun,
beberapa hari setelahnya dia pun harus kembali ke Groningen untuk melanjutkan
studi ke jenjang S3 karena dia menerima tawaran beasiswa dari Professornya di
tempat yang sama. Kami pun melakukan semua persiapan untuk pernikahan lewat
jarak jauh lagi. Memang bukan hal yang mudah karena kami terpaut perbedaan
waktu selama 5-6 jam, tapi hal ini pasti bisa dilalui toh selama ini kami pun
ta’arufan lewat chatting. Ternyata pada kenyataannya tidak segampang itu,
karena semua yang seharusnya bisa efisien dilakukan berdua jadi hanya bisa
dikerjakan olehku sendiri dengan bantuan dari keluargaku. Bener-bener menguras
tenaga, pikiran, dan perasaan (ciee lebay). Semuanya perlu dilakukan dengan kesabaran
karena dalam memutuskan segala sesuatunya perlu ditanyakan dulu pendapat dari
dia, yang rata-rata bilangnya sih terserah aja, jadi kan bikin bingung sendiri
yak. Terlebih lagi hasil rundingan dari keluargaku dan keluarganya yang
akhirnya memutuskan untuk melaksanakan pernikahan pada tanggal 25 Desember
2016, hal ini membuat persiapan pernikahan hanya bisa disiapkan dalam waktu
kurang dari 3 bulan.
Dari mulai mencari gedung
pernikahan yang cukup sulit karena gedung yang strategis dan harganya lumayan
cocok pastinya sudah ada yang membooking sejak jauh hari. Alhamdulillah nya
masih ada gedung dekat dengan rumahku yang masih bisa dipergunakan pada tanggal
tersebut. Mencari vendor-vendor lainnya seperti dekorasi, catering, jasa foto,
undangan, semua dikerjakan sendiri dengan bantuan keluargaku setelah
dirundingkan juga dengan calon suami. Alhamdulillahnya lagi keluarga calon
suami nya tidak terlalu meminta yang aneh-aneh sehingga kami pun mempersiapkan
sebagaimana mestinya saja. Alhamdulillah lagi semua persiapan bisa berjalan
sesuai rencana sampai pada hari H.
Hari yang ditunggu pun akhirnya
datang, Minggu 25 Desember 2016, bertepatan dengan ulang tahun ayahku. Sejak
semalam perasaan ini masih belum deg-degan, padahal biasanya kata orang-orang
H-1 itu udah semakin deg-degan. Ternyata baru kerasa hati berdebar-debar itu
saat di dandanin sama perias dan saat diberitahukan bahwa mobil calon mempelai
pria sudah datang. Semakin mendekati acara ijab qabul, hati ini semakin nggak
karuan. Terlebih lagi saat prosesi akad nikah aku duduk terpisah dari mempelai
pria, jadi hanya bisa menyaksikan sang calon suami berikrar dari jauh. Yang
paling berkesan adalah saat calon suami dengan mantap mengucapkan qabul :
“Saya terima nikah dan kawinnya Anisah Erika Rahayu binti Pramoe Subekti
dengan maskawin 24 gram emas dibayar tunai…”
Saat itu muncul perasaan haru,
lega, bahagia, khawatir semuanya ada. Haru karena harus berpisah dari orang tua
yang selama ini menjagaku selama 24 tahun, lega karena akhirnya dia berhasil
mengucapkan qabulnya, bahagia karena akhirnya aku sudah menikah, khawatir
karena sekarang aku memiliki tanggung jawab lebih sebagai seorang istri yang
harus selalu taat pada suaminya dalam hal kebenaran.
Setelah kami sah menjadi suami
istri, akhirnya aku disandingkan dengannya di meja akad nikah, dipakaikannya
cincin pernikahan, dan penyelesaian administrasi pernikahan lainnya. Disitu
juga untuk pertama kalinya aku memegang tangannya dia, memegang tangan seorang
lelaki yang sudah halal bagiku. Sejak pertama kali tangan kami berpegangan,
belum pernah terlepaskan sampai kami duduk di pelaminan, bahkan rasanya tidak
ingin aku lepaskan sama sekali.
“Suamiku, terima kasih karena telah memperjuangkan aku sampai kita bisa
bersatu, terima kasih telah benar-benar serius memilihku, terima kasih telah
mempercayakan masa depanmu dan anak-anakmu kepadaku, tolong bimbing aku selalu
untuk bisa menjadi istri yang salihah, ingatkan aku selalu untuk tetap berada
di jalan yang lurus, mari kita sama-sama bangun peradaban keluarga kita yang
selalu mengikuti Allah dan Rasul-Nya, semoga pernikahan kita berkah di dunia
dan akhirat, sakinah, mawaddah, warahmah. Aaamiin…”
Tidak ada yang pernah menyangka
akan bertemu jodoh dimana, kapan, saat bagaimana. Orang Bandung bisa berjodoh
dengan orang Banjarmasin yang ketemunya di Groningen, beda benua dengan tempat
tinggal asal mereka. Benar-benar rencana Allah tidak ada yang tahu pasti.
Groningen,
26 Oktober 2017